Jumat, 21 Mei 2010

Membangun Kultur Sekolah

MESKI tidak sepenuhnya benar, mendidik anak itu mirip menyemai benih pohon. Misalnya Anda ingin menanam pohon kurma yang benih atau bibitnya diambil dari tanah Arab,Anda perlu menganalisis dan mengondisikan tanah serta cuaca yang cocok sebelum benih kurma ditanam di Indonesia.


Logika ini juga berlaku dalam dunia pendidikan,meskipun bibit pohon tidak persis sama dengan anak manusia. Banyak anak yang memiliki bakat hebat, tapi karena kondisi sekolahnya tidak mendukung, anak dimaksud tidak tumbuh optimal. Bakatnya terpendam, bahkan mati. Sebaliknya,anak yang kepintaran dan bakatnya sedang-sedang saja, tapi karena lingkungan sekolahnya bagus, anak tersebut tumbuh sebagai anak yang mandiri dan sukses. Berdasarkan argumen di atas, kemudian muncul formula bahwa apa yang disebut school culture sangat vital perannya bagi sebuah proses pendidikan. Sayangnya selama ini kita lebih sibuk berbicara kurikulum, jumlah ketersediaan guru, tunjangan guru, dan target kelulusan dalam ujian nasional; sedikit sekali berbicara tentang budaya sekolah.

Padahal akhirakhir ini pemerintah mulai berbicara pentingnya pembentukan karakter. Tanpa budaya sekolah yang bagus akan sulit melakukan pendidikan karakter bagi anakanak didik kita. Jika budaya sekolah sudah mapan, siapa pun yang masuk dan bergabung ke sekolah itu hampir secara otomatis akan mengikuti tradisi yang telah ada. Contoh yang paling nyata adalah budaya bersih dan hidup tertib di Singapura. Tidak hanya sebatas school culture.Di sana bahkan sudah tumbuh city culture, yang antara lain ditandai hidup bersih, budaya antre, dan disiplin. Orang Indonesia yang tidak terbiasa hidup bersih dan disiplin berlalu lintas, begitu masuk Singapura tiba-tiba menjadi berubah, menyesuaikan dengan kultur yang ada. Budaya sekolah,atau lebih luas lagi budaya pendidikan, yang dimaksud dalam tulisan ini secara sangat menarik dan gamblang dilukiskan oleh A Fuadi dalam novelnya Negeri Lima Menara.

Novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata, entah sudah berapa kali mengalami cetak ulang, sampai-sampai pernah diangkat dalam acara Kick Andy Show di Metro TV dan sekarang tengah dalam persiapan diangkat dalam film layar lebar. Di samping Laskar Pelangi, novel ini sangat bagus menggambarkan betapa vitalnya kultur pendidikan bagi proses pendidikan siswa. Secara pribadi saya menyarankan agar para pendidik membacanya. Budaya sekolah adalah sebuah pengondisian lingkungan berdasarkan konsep yang jelas,lalu dijaga dan dipupuk ibarat kita membuat hutan kota sehingga tumbuh kokoh, tempat orang berlindung mencari keteduhan dan menghirup oksigen. Dalam novelnya Fuadi melukiskan pengalaman pribadinya ketika belajar di Pesantren Gontor,Ponorogo,Jawa Timur.

Dia masuk ritme kehidupan pondok selama enam tahun siang dan malam, mirip ketika kita bergabung dalam adegan tawaf, tak ada pilihan lain selain mengikuti gerakan massa memutari Kakbah. Siapa pun yang pernah belajar di Gontor akan mengalami bagaimana belajar berbicara Arab atau Inggris yang berlangsung setiap saat, sampai-sampai yang berbicara bahasa Indonesia akan kena hukuman. Hanya dalam waktu setahun mereka sudah terbiasa berbicara dan pidato dalam dua bahasa itu, apa pun mutunya karena yang penting adalah keberanian dan kebiasaan berbicara dalam bahasa asing, soal gramatika belakangan. Ini contoh kecil elemen sebuah budaya sekolah di mana kurikulum pelajaran resmi yang ditetapkan pemerintah sudah lebur dalam ritme kehidupan sehari-hari.

Sebuah budaya mengasumsikan kehidupan yang berjalan natural,tidak lagi dirasakan sebagai beban. Karena itu merancang budaya sekolah mesti memikirkan dan menyiapkan pula kehidupan seni dan olahraga serta ruang kebebasan kreasi anak. Dengan demikian, proses pendidikan dan beban kurikulum sekolah tidak dirasakan sebagai beban, melainkan tantangan layaknya dalam sebuah permainan olahraga yang penuh semangat, tapi tetap ada wasit ataupun peraturan baku.Wasit yang bagus adalah berupa kesadaran menjaga mutu permainan yang datang dari para pemain sendiri. Gambaran itu sangat menarik dan begitu jelas disajikan dalam Negeri Lima Menara.

Saya sendiri mengamati beberapa sekolah yang berhasil membangun school culture yang bagus dan mapan. Di Sekolah Madania, Parung, Bogor, Jawa Barat, misalnya, para siswa sejak SMP sampai SMU memiliki tradisi membaca buku-buku bahasa Inggris dan melakukan riset kepustakaan melalui internet lalu dituliskan dalam sebuah paper singkat.Tradisi baca tulis dalam bahasa Inggris ini telah membudaya sehingga beberapa alumni Madania yang sudah kuliah baik di dalam maupun di luar negeri ketika ada tugas riset dan menulis makalah tidak merasakannya sebagai beban yang memberatkan. Masa-masa sekolah adalah sebuah formative years, masa pembentukan karakter yang sangat menentukan fondasi moral-intelektual seseorang seumur hidupnya.

Anak-anak yang sukses di bangku kuliah akan sangat ditentukan bagaimana kualitas dan kebiasaan belajar serta hidupnya di usia sebelumnya. Di kampus saya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, siapa saja anak-anak yang akan sukses sudah mulai terbaca dengan mengamati asal-usul sekolahnya dan hasil seleksi masuknya.Dalam hal karakter, perguruan tinggi hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah terbentuk sebelumnya. Perguruan tinggi memang berhasil mewisuda mahasiswanya sebagai seorang sarjana, namun saya ragu, benarkah sistem perkuliahan yang ada mampu membentuk karakter seseorang? (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
http://17-08-1945.blogspot.com/2010/05/koran-digital-komaruddin-hidayat_20.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar